Usaha pengolahan patin akan
lebih menguntungkan jika dilakukan dengan menerapkan zero waste concept.
Dengan konsep ini, usaha pengolahan patin diarahkan dengan memproduksi
fillet patin sebagai produk utama. Sisanya yang berupa kepala, tulang,
dan kulit yang jumlahnya mencapai 60% dari berat patin dapat diolah
menjadi produk olahan seperti tepung ikan, kerupuk dan krispi yang
masing-masing dapat diusahakan dalam usaha terpisah yang menguntungkan.
Jika usaha pengolahan fillet patin ini dilakukan secara terintegrasi
dengan memanfaatkan hasil samping tersebut akan lebih menguntungkan.
Pemanfaatan semua bagian tubuh patin yang nir limbah ini dapat
memberikan keuntungan tambahan yang sekaligus mengimplementasikan zero
waste concept yang merupakan salah satu prinsip utama dalam blue economy
sehingga usaha ini dapat dikatagorikan sebagai usaha yang sangat ramah
lingkungan.
LATAR BELAKANG
Patin merupakan salah satu
komoditas unggulan ikan budidaya yang dikembangkan di Indonesia (di
sungai, danau, waduk, maupun kolam) karena memiliki pangsa pasar sangat
besar baik di dalam maupun di luar negeri, budidayanya mudah, pertumbuhannya
cepat, dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan. Produksi
patin Indonesia (Anon, 2012a) meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2007 produksi patin nasional mencapai 47.594 ton meningkat 5 kali lipat
lebih menjadi 243.419 ton pada tahun 2011 (Gambar 1). Ditargetkan pada
tahun 2014 nanti produksi menjadi 1,8 juta ton (Anon., 2013a).
Peningkatan produksi yang luar biasa ini menuntut tindakan yang tepat,
tertutama untuk memanfaatkan nilai tambah semaksimal mungkin di dalam
negeri sekaligus memenuhi permintaan dalam negeri yang tinggi. Di sisi
lain, permintaan ekspor akan ikan ini pun terus meningkat, terutama dari
pasar Eropa dan Amerika Serikat. Namun demikian, di pasar ekspor harga
ikan patin Indonesia belum dapat bersaing dengan patin Vietnam yang saat
ini menguasai 80% pasar dunia. Peluang ekspor patin bagi
Indonesia semakin terbuka lebar setelah Amerika Serikat mulai menutup
impor patin dari Vietnam karena disinyalir mengandung bahan berbahaya
bagi kesehatan manusia. Amerika Serikat mengimpor patin hingga 1,1 juta
ton per tahun, terutama dalam bentuk fillet, yang didominasi oleh patin
Vietnam.
Pasar potensial lainnya adalah pasar Eropa (terutama pasar Uni
Eropa) yang diperkirakan kebutuhan pasarnya jauh di atas kebutuhan patin
di pasar Amerika Serikat (Anon., 2013b). Saat ini 25% pangsa pasar patin
di pasar Eropa dikuasai patin Vietnam. Potensi ekspor patin ke pasar
Eropa ini makin meningkat dengan dikeluarkannya kebijakan untuk membatasi
perburuan ikan cod. Sebagai gantinya, masyarakat Eropa mulai beralih ke
patin yang daging dan teksturnya mirip dengan ikan cod. Pasar potensial
lainnya adalah Timur Tengah khususnya Dubai (Uni Emirat Arab) yang
menginginkan patin ukuran 2 ekor/kg (Anon., 2013b).
Dengan
mempertimbangkan potensi serta keunggulan yang dimiliki dalam
mengembangkan produksi patin nasional maka bukanlah hal yang mustahil
jika Indonesia mampu menjadi salah satu eksportir patin terbesar dunia.
Program industrialisasi menjadi salah satu usaha nyata dalam rangka
mewujudkan harapan tersebut. Ditambah lagi dengan peluang pemasaran patin
baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan impor
dari beberapa negara di dunia. ?
Masalah yang dihadapi untuk
mengembangkan potensi patin Indonesia adalah harga jual yang masih
tinggi dan bagaimana meningkatkan nilai tambah patin itu sendiri di
dalam negeri agar patin Indonesia mampu bersaing di tingkat internasional. Usaha pengolahan fillet patin untuk memenuhi pasar dalam maupun luar negeri merupakan usaha yang menguntungkan. Usaha ini akan makin menguntungkan jika diikuti dengan pemanfaatan hasil samping
seperti kepala, tulang, sisa daging dan kulit sehingga tidak terdapat
bagian tubuh patin yang terbuang (nir limbah). Upaya ini merupakan
implementasi dari zero waste concept yang merupakan salah satu jiwa dari
prinsip blue economy. Secara parsial, usaha pengolahan hasil
samping menjadi produk olahan merupakan usaha yang menguntungkan untuk
dikerjakan dalam skala besar maupun UKM, bahkan hingga skala mikro.
Usaha tersebut akan makin menguntungkan jika dilakukan secara
terintergrasi dengan memproduksi fillet sebagai produk utama dan hasil
samping sebagai produk tambahan untuk usaha skala besar hingga UKM.
Produk-produk olahan hasil samping dari pengolahan fillet patin telah dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, seperti kerupuk tulang
patin, krispi kulit patin dan tepung ikan dari hasil samping lainnya
(Suryaningrum et al., 2012). Usaha pengolahan lain yang biasa
dan telah lama dilakukan di Indonesia namun tidak menghasilkan hasil
samping adalah salai patin (patin asap) yang secara finansial
menguntungkan. Salai patin ini lebih ditekankan untuk memenuhi permintaan
dalam negeri yang tinggi, namun demikian, dengan perbaikan cara
pengolahan dan peningkatan mutu, tidak tertutup kemungkinan produk ini
untuk diekspor terutama ke pasar Asia dan Afrika yang memiliki selera
serupa dengan Indonesia.
Gambar 1. Perkembangan
produksi patin nasional (Anon, 2012)
PENGEMBANGAN USAHA PATIN TERINTEGRASI NIR LIMBAH
Diversifikasi pengolahan patin
menjadi beberapa produk siap olah dan siap saji akan meningkatkan nilai
tambah produk patin itu sendiri. Produk diversifikasi ini dapat
memberikan pilihan yang lebih luas bagi konsumen untuk memenuhi minat
akan produk yang praktis dan menarik. Disamping itu, produk tersebut
memiliki pangsa pasar yang sangat terbuka baik untuk tujuan pemenuhan
kebutuhan domestik maupun kebutuhan ekspor ke beberapa negara di dunia. Pengembangan usaha pengolahan patin dengan zero waste concept ini sangat mungkin untuk diterapkan mengingat patin dapat dimanfaatkan secara menyeluruh mulai dari daging, kepala, tulang, kulit, sirip dan isi
perut. Penerapan zero waste concept dalam usaha pengolahan patin yang
terintegrasi dapat meningkatkan margin usaha jika dibandingkan usaha
masing-masing secara parsial.
Salai patin merupakan salah
satu bentuk olahan patin tradisional yang telah dilakukan di beberapa
daerah (terutama di Kampar, Sumatera) dalam bentuk utuh tanpa menyisakan
bagian tubuh yang lain kecuali isi perut. Usaha pengolahan salai patin
ini umumnya dilakukan di pedesaan yang hasil produksinya dikumpulkan oleh
pedagang pengumpul dan selanjutnya didistribusikan ke daerah pemasaran.
Namun demikian, mekanisme pemasaran untuk ekspor belum berfungsi,
sedangkan masalah sanitasi dan higiene belum diterapkan dengan ketat.
Hal ini menjadi kendala utama untuk pemasaran salai patin ke luar
negeri. Teknologi pengolahan salai patin cukup sederhana sehingga
potensial sebagai alternatif pengembangan pengolahan di sentra produksi
patin di Indonesia. Pasar domestik yang sangat besar dapat menjadi
alasan penting untuk terus mengembangkan salai patin. Pasar domestik
salai patin antara lain Jakarta, Medan, Pekanbaru, Aceh, Padang, dan
Batam. Sedangkan pasar ekspor salai patin adalah negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura, atau bahkan Afrika yang memiliki selera yang
serupa terhadap produk ini. Sejak tahun 2010 hingga 2012 diperkirakan
ekspor salai patin ke kedua negara Asia tersebut mencapai tiga ton
(Anon., 2013b). Pengolahan salai patin ini dapat diusahakan secara
komersial dengan skala produksi 22 ton per tahun dengan investasi Rp. 87.000.000,- yang dapat kembali investasi (ROI) dalam 1,25 tahun (keuntungan bersih Rp. 71.000.000,-/tahun). Rincian analisis finansial
seperti pada Tabel 1. Daging patin dapat dimanfaatkan menjadi
berbagai produk olahan seperti fillet, surimi, kerupuk maupun abon
patin. Pengembangan pengolahan fillet patin (40% dari berat patin) dapat
dijalankan secara terpisah maupun terintegrasi dengan pengolahan
lainnya (60%) seperti kerupuk, krispi dan tepung ikan dengan fillet
sebagai produk utama. Jumlah UPI fillet patin yang ada di Indonesia pada
tahun 2012 berjumlah 8 (delapan) unit yang ada di Jakarta, Surabaya dan
Banjarmasin. Pada tahun 2013, Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP)
telah membangun 6 UPI fillet patin serta pabrik dan pengolahan tepung
ikan yang tersebar di Kab. Muaro Jambi, Kab. Kampar, Kab. Tulung Agung,
Kab. Banjar, Kab. Karawang dan Kab. Purwakarta (Anon., 2013c). Dengan
mempertimbangkan jumlah produksi patin nasional, usaha pengolahan fillet patin
masih terbuka. Pengolahan fillet ini dapat diusahakan dengan investasi
Rp. 1.000.000.000,- (skala produksi 480 ton/tahun) dengan kemampuan balik
investasi (ROI) 1,9 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Analisis keuntungan
finansial usaha pengolahan patin
Usaha pengolahan tepung ikan
merupakan usaha sampingan yang memanfaatkan sebagian besar (93%) hasil
samping usaha pengolahan fillet. Nilai produksi tepung ikan berbahan baku
patin mengalami peningkatan dimana pada tahun 2012 dihasilkan 164 ton tepung
ikan sedangkan di tahun 2013 menjadi 3.305 ton, pada tahun 2014 produksi
tepung ikan berbahan baku patin diharapkan mencapai 7.070 ton (diolah
dari Anon., 2012b). Pengolahan tepung ikan berbahan patin membutuhkan
investasi Rp. 800.000.000,- dengan skala produksi 133 ton per tahun dan
kemampuan balik investasi (ROI) dalam 1,5 tahun (Tabel
1).
Gambar 2. Pohon industri
patin
Produksi krispi kulit dan
kerupuk tulang patin dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi UMKM.
Kerupuk tulang patin maupun krispi kulit patin merupakan produk yang
mempunyai umur simpan yang cukup lama karena produk ini dapat disimpan
dalam bentuk kering. Meskipun pemasarannya hampir kebanyakan untuk pasar
domestik, namun tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan produk ekspor
ke Asia, Timur Tengah dan bahkan Amerika Serikat maupun Eropa dengan
syarat diproduksi dengan mengikuti kaidah GMP yang ketat dan mutu yang
tinggi. Pengolahan krispi kulit patin secara komersial membutuhkan
investasi Rp. 260.000.000,- untuk skala produksi 49 ton per tahun dan
kemampuan balik investasi (ROI) dalam 1,9 tahun dengan laba bersih Rp.
141.000.000,-/tahun (Tabel 1). Untuk usaha pengolahan krupuk tulang
patin dapat dilakukan dengan skala produksi 28 ton/tahun yang memerlukan
investasi Rp. 238.000.000,-. Usaha ini mampu menghasilkan laba Rp.
232.000.000,-/tahun dan jangka waktu pengembalian investasi (ROI) 1,1
tahun (Tabel 1).
Disamping produk diatas,
bentuk olahan lainnya yang dapat dihasilkan dengan menggunakan daging
patin adalah produk surimi dan produk berbasis surimi. Surimi merupakan
produk setengah jadi, berupa daging lumat yang dibersihkan dan mengalami
pencucian berulang-ulang sehingga sebagian besar bau, darah, lemak dan
pigmen telah hilang. Dari surimi dapat dibuat berbagai macam produk
berbasis surimi seperti nugget, bakso, sosis, fish cake maupun kamaboko
yang dapat meningkatkan nilai tambah dari patin. Pemasaran produk-produk
tersebut dalam bentuk beku yang tersebar di berbagai supermarket yang
ada di Indonesia. Teknologi pengolahan produk produk tersebut telah
dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (Suryaningrum et al.,
2012).
REKOMENDASI
Perlu
adanya pengembangan usaha pengolahan patin yang terintegrasi untuk skala
UKM yang lebih menguntungkan sekaligus untuk mengimplementasikan zero
waste concept. Perlu dibangun usaha pengolahan patin terintegrasi di sentra
produksi patin sebagai model usaha skala UKM yang menerapkan prinsip GMP
(terutama aspek sanitasi dan higiene) sehingga peluang ekspor produk
yang dihasilkan makin terbuka luas. Perlu dilakukan upaya yang lebih
tepat mulai dari budidaya hingga pemasaran untuk mengambil peluang ekspor
patin baik dalam bentuk segar maupun bentuk olahan sehingga dapat
meningkatkan nilai tambah dari patin. Mekanisme pemasaran ekspor perlu
difungsikan dengan baik sehingga hasil produksi olahan ikan patin dapat
terserap seluruhnya oleh pasar.
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Nilai tambah patin akan dapat dinikmati lebih besar di
dalam negeri, terutama oleh usaha skala UKM. Disisi lain, diperlukan
langkah-langkah tegas untuk meningkatkan efisiensi budidaya patin untuk menjamin
ketersediaan bahan baku yang kontinyu dengan harga terjangkau. Potensi
kerugian yang mungkin timbul dari usaha pengolahan patin yang parsial
dapat ditekan dengan penerapan pengolahan terintegrasi. Potensi pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan akibat berkembangnya usaha pengolahan patin
(fillet) dapat dikurangi atau bahkan dihindari. Peluang ekspor produk olahan
patin dan hasil sampingnya dapat dimanfaatkan. Diperlukan penguatan SDM
pengolahan dan alih teknologi pengolahan produk ikan patin dalam
menerapkan prinsip GMP secara konsisten. Penguatan kelembagaan dalam pemasaran
sangat diperlukan untuk mendukung kesempatan dalam meraih pasar ekspor.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2012a. Statistik
Perikanan KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Anon. 2012b. Bahan diskusi
sinkronisasi dengan Litbang Pengolahan Produk dan Bioteknologi.
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Anon. 2013a. Budidaya Patin
Butuh 1,3 Juta Ton Pakan Ikan. . Diakses 15 Januari 2014
Anon. 2013b. Pengembangan
Usaha Ikan patin. Warta Ekspor. Ditjen PEN/MJL/004/10/2013 Oktober.
Kementerian Perdagangan RI. Hal. 3 – 11. Diakses 15 Januari
2014
Anon. 2013c. Produksi Ikan
Patin Ditergetkan 1,1 juta ton. Antara News. . Diakses 15 Januari
2014.
Suryaningrum, TD., Suryanti,
dan Muljanah, I. 2012. Membuat filet ikan patin. Penebar Swadaya.
http://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/skala-ekonomi-usaha-pengolahan-patin-nir-limbah
Post A Comment:
0 comments: